Tampilkan postingan dengan label Biografi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biografi. Tampilkan semua postingan

Linus Pauling: Ilmuwan dan Aktivis Perdamaian

Linus Carl Pauling adalah kimiawan terkenal abad ke-20. Ia merupakan satu-satunya penerima dua Hadiah Nobel yang dianugerahkan hanya kepada seorang individu, walau untuk dua kategori yang berbeda: Nobel Kimia pada tahun 1954 dan Nobel Perdamaian pada tahun 1962. Dalam masa hidupnya selama 93 tahun (lahir tahun 1991 dan meninggal tahun 1994), Linus Pauling berhasil menobatkan dirinya menjadi salah satu ilmuwan terkemuka dunia dengan berbagai hasil penelitiannya yang merambah ke banyak bidang. Ini disebabkan karena Dr. Pauling tidak sungkan-sungkan mendalami berbagai disiplin ilmu: dari kimia ke fisika dan matematika, ke biologi dan kedokteran serta kesehatan. Bahkan, dia lebih senang disebut sebagai seorang ‘ilmuwan’ ketimbang seorang ‘kimiawan’.

Karyanya di bidang kimia yang sangat dikagumi adalah hasil penelitiannya tentang sifat-sifat ikatan kimia yang tertuang dalam bukunya yang terkenal "The Nature of the Chemical Bond and the Structure of Molecules and Crystals: An Introduction to Modern Structural Chemistry". Buku yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1939 ini menjelaskan secara rinci bagaimana sifat-sifat ikatan kimia menentukan struktur suatu molekul dan bagaimana struktur molekul ini menentukan kualitas molekul tersebut. Hal yang menarik dari hasil risetnya ini adalah penjelasan Pauling mengenai fenomena ikatan kimia (covalent atau ionic) dengan menggunakan Mekanika Quantum, suatu teori fisika yang turut dipelajarinya ketika teori ini baru lahir dan berkembang di awal abad ke-20. Dr. Pauling menemukan bahwa dalam banyak kasus, tipe ikatan kimia-kovalen atau ion-dapat ditentukan dari properti magnetik zat atau bahan itu sendiri. Dia juga membuat skala elektonegativitas unsur-unsur yang memiliki karakter kedua jenis ikatan ini (ikatan kovalen dan ikatan ion); lebih kecil perbedaan elektonegativitas antara dua atom, lebih besar ikatan kimia antar keduanya memiliki ikatan kovalen murni. Untuk menjelaskan ikatan kovalen ini, Pauling menawarkan dua konsep baru yang dipinjam dari Mekanika Kuantum: ikatan-orbital hibridizasi dan ikatan resonansi. Hibridizasi merupakan fenomena penyusunan kembali elektron-elektron suatu atom dimana elektron-elektron tersebut mengambil posisi yang lebih memudahkan untuknya mengikat dengan atom yang lain. Sedangkan resonansi adalah fenomena dimana elektron-elektron suatu atom melompat dengan sangat cepat antara dua posisi (atau lebih dari dua posisi) di suatu jaringan ikatan. Resonansi merupakan suatu penjelasan penting atas struktur geometri suatu zat dan stabilitas zat tersebut.

Temuan pentingnya yang lain di bidang kimia adalah struktur protein alpha-helix. Dr. Pauling menemukan struktur ini kala dia sedang terbaring sakit karena terjangkit flu di Oxford, Inggris. Saat itu dia sedang menjadi profesor tamu di Balliol College. Setelah bosan membaca novel-novel detektif, tetapi karena masih harus beristirahat di tempat tidur atas perintah dokter, dia lantas mulai memikirkan struktur protein. Pauling mensketsa rangkaian polypeptide di atas sehelai kertas, kemudian melipatnya sepanjang garis-garis parallel dan kemudian berhasil mengkoseptualisasi dua struktur, apha-helix dan beta sheet. Walau begitu, temuannya ini tidak dipublikasikan sampai tiga tahun kemudian (di tahun 1951) untuk meyakinkan dirinya bahwa model yang ditemukannya adalah benar.

Selain sebagai seorang ilmuwan, Linus Pauling juga sangat aktif bergerak di bidang kemanusiaan. Setelah Perang Dunia (PD) II selesai, Pauling bersama ilmuwan ternama lainnya, Albert Einstein, yang mengepalai Komite Darurat Para Ilmuwan Atom (Emergency Committee of Atomic Scientist) kerap menyerukan untuk memberhentikan tes bom nuklir di atas permukaan bumi. Menggunakan data-data sains dan statistik, Pauling mengemukakan bahwa radiasi elektromagnetik hasil ledakan bom ini membahayakan kesehatan banyak orang. Penyakit-penyakit seperti kanker dan kelainan genetik dapat disebabkan oleh radiasi ini. Dia berhasil mengumpulkan 9000 tanda tangan dari ilmuwan berbagai negara untuk sebuah petisi yang berkenaan dengan hal ini dan menyerahkannnya ke Sekjen PBB pada tahun 1958. Usahanya lantas membuahkan hasil ketika kesepakatan pengurangan pengembangan senjata nuklir dikeluarkan dan Institusi Nobel menganugerahkannya Hadiah Nobel Perdamaian.

sumber:chem-is-try.com

Selasa, 30 Agustus 2011 | , , | 0 comments [ More ]

Marie Curie

Marie Curie adalah satu-satunya perempuan yang memenangkan dua nobel. Ia sekaligus pendobrak bias jender dalam dunia sains abad ke-20. Berkat jasanya, wanita semakin diakui kontribusinya dalam perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang kimia. Dilahirkan 7 November 1867 di Warsawa, Polandia, ia bernama kecil Maria Sklodowska. Pada masa itu, rakyat Polandia menderita karena penjajahan Rusia. Bahkan ayah Marie dipecat dari pekerjaannya sebagai guru gara-gara dituduh mengobarkan nasionalisme untuk melawan penjajah Rusia. Malang pula bagi keluarga Marie karena saat ia baru berumur 10 tahun sudah ditinggal ibunya yang meninggal karena kesulitan berobat TBC. Namun Marie kecil adalah anak yang cemerlang meski harus menyiapkan keperluan rumah tangga sendiri, bakat intelektualnya terlihat menonjol semasa bersekolah. Dia berhasil lulus dengan medali emas dari sekolahnya pada usia 15 tahun. Meskipun demikian situasi perang Polandia dan diskriminasi jenis kelamin tidak memungkinkannya melanjutkan sekolah sampai universitas.

Setelah lama mencari-cari arah hidupnya akhirnya dia menemukan romantisme pada "penemuan ilmiah". Namun tidak gampang bagi muda-mudi Polandia untuk belajar karena hal itu dilarang oleh pemerintah penjajah sehingga mereka harus sembunyi-sembunyi mengadakan kuliah dan diskusi ilegal. Minatnya pada ilmu membuat Marie dengan kakaknya berniat belajar di Paris dan bergantian dalam membiayai ongkosnya. Marie memutuskan kakaknya (Bronia) pergi ke Paris terlebih dahulu dengan tabungan bersama mereka. Selama ia menunggu gilirannya, Marie banyak membenamkan diri dalam buku-buku ilmu pengetahuan sambil bekerja sebagai pengasuh anak untuk mencari uang untuk ditabung dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Sebagai gadis miskin cintanya pernah ditolak oleh seorang pemuda kaya kerena dianggap tidak sebanding hartanya. Begitulah cinta pertamanya berakhir dengan kepahitan yang hampir membuatnya putus asa. Tapi hal itu justru menambah semangatnya untuk menjadi maju dan memimpikan Paris, kota yang bak magnet bagi para pengelana muda.

Sorbonne
Saat berusia 24 tahun impian studinya tercapai, ia diterima di Faculte de Sciences Universitas Sorbonne, Paris. Kala itu sains lagi naik daun menggeser pamor dari ilmu sastra dan teologi yang pernah berjaya. Di zaman itu, di Sorbonne terdapat para pelopor riset modern yang menjadi gurunya seperti Emile Duclaux, Henri Poincare dan Gabriel Lippman. Suasana kota Paris pun tidak kalah menariknya hingga Marie benar-benar merasakan kebebasan yang tidak bisa didapatkan di negara asalnya. Ia bahkan mengubah namanya menjadi dari Maria menjadi Marie karena kecintaannya pada pula pada Paris. Namun meski hidup di pusat mode, dia selalu bersahaja dalam segala hal termasuk dalam gaya berpakaiannya yang praktis (seperti terlihat pada foto).

Karena sifatnya yang pemalu dan kurang lancar berbahasa Perancis, Marie kurang banyak bergaul dengan teman-teman dari Perancis. Jadwal utamanya di Paris hanyalah mengikuti kuliah, praktikum di lab dan membaca di perpustakaan. Waktu inilah yang dianggapnya sebagai salah satu kenangan termanis hidupnya, masa sepi yang diabadikan buat belajar. Marie sempat pula turun semangat. Pertama karena teringat keluarga dan tanah kelahirannya. Dan kedua karena ia putus hubungan dengan Lamotte, pujaan hatinya. Hal itu tentu saja mengganggu kuliahnya sampai suatu ketika ia diminta oleh Prof. Lippmann untuk menjadi asistennya. Pada akhir tahun 1893, mereka meneliti sifat magnetis baja yang banyak mengalihkan perhatiannya dan memberinya banyak pengalaman dalam penelitian.

Pierre Curie

Marie dan Pierre Curie
Marie dan Pierre Curie Suatu ketika, Marie mengunjungi rumah seorang ahli fisika Polandia dan dikenalkan pada Pierre Curie. Dasar jodoh, keduanya ngobrol sana-sini tetap saja nyambung. Mereka sama-sama serius dan memiliki tingkat intelektual yang sejajar namun sama-sama pula sering dianggap "tidak diperhitungkan". Pierre adalah ahli fisika Perancis penemu piezoelektrik dan elektrometer. Saat itu ia menjabat sebagai kepala lab School of Industrial Physics and Chemistry. Tidak lama kemudian, mereka menikah. Bulan madunya sederhana yaitu bersepeda keliling Inggris. September 1897, putri pertamanya, Irene lahir.

Radioaktivitas
Semenjak Wilhelm Rontgen menemukan fenomena luminensi sinar X dan Henri Becquerel mengaitkannya dengan fluoresensi, keingintahuan ilmuwan tentang bidang radiasi semakin menjadi-jadi. Sayang sekali, penelitian ini menemui jalan buntu karena belum dapat mengungkap jenis radiasi aneh yang berbeda dengan sinar X. Becquerel sendiri waktu itu hanya tahu adanya sinar yang sangat kuat, tidak dapat dilihat dan sama sekali belum dikenal.

Marie Curie merasa tertantang dengan kelanjutan penelitian Becquerel. Ia mulai bereksperimen tanggal 16 Desember 1897 tentang radiasi potasium uranil sulftat. Lalu dilanjutkan dengan penelitian radioaktivitas pada beragam uranium. Dari eksperimen yang dikerjakannya bersama suaminya itu, ternyata ia menemukan fakta bahwa uranium lebih radioaktif dalam bijih (pitchblende) daripada dalam keadaan murni. Jika pitchblende beradioaktivitas sebesar 83 x 10-12 ampere, garam uranium hanyalah 0,3 x 10-12 ampere. Dari sini ia menduga ada unsur lain dalam bijih tersebut. Dengan penyulingan kimiawi didapatlah unsur yang dinamainya polonium sesuai tanah kelahirannya. Dalam publikasinya "On A New Radioactive Substance Contained in Pitch Blende" ia memaparkan bahwa polonium 400 kali lebih radioaktif dibanding uranium.

Namun pasangan itu yakin masih ada unsur radioaktif lain dalam bijih tersebut. Mereka mengundang ahli spektroskopi kimia, Eugene Demarcay, untuk menganalisis keberadaannya. Sesuai dugaan memang terdeteksi spektra baru dari unsur temuan yang kemudian mereka namakan radium.

Untuk analisis lebih lanjut dibutuhkan radium dalam jumlah besar dan tentunya dibutuhkan bijih yang banyak pula. Mereka mengangkut bijih sisa tambang ke laboratorium mereka secara perodik. Suatu pekerjaan melelahkan yang bagi orang awam terhitung aneh sehingga sampai-sampai mereka diolok sebagai pasangan gila. Setelah bahan dan alat tersedia, Marie layaknya ahli kimia mengekstrak radium sementara Pierre Curie menggunakan fisika untuk meneliti sifat radioaktifnya. Pada 1902, pasangan Curie mengisolasi hanya 0,1 gram radium dari lebih dari satu ton bijih.

Nobel
Tahun 1903 hadiah Nobel Fisika dianugerahkan separuh untuk pasangan Curie dan separuh lagi untuk Henri Becquerel atas jasa-jasa mereka dalam penemuan radioaktivitas.

Duka mendalam bagi keluarga Curie saat Pierre meninggal dalam sebuah kecelakaan. Dengan sepeninggal Pierre, jabatan profesor di Sorbonne kosong dan akhirnya dipilihlah Marie sebagai penggantinya. Untuk pertama kali seorang wanita mengajar di Sorbonne! Dalam opini Le Journal terbitan 6 November 1906 kuliahnya dikomentari sebagai berikut: "Hari ini kita menyaksikan perayaan kemenangan bagi kaum wanita. Jika seorang wanita telah diperbolehkan mengajar tentang ilmu-ilmu tinggi, dalam bidang apalagi kaum pria akan bisa menunjukkan kelebihan mereka? Perlu diketahui bahwa sudah tiba saatnya wanita akan diakui sepenuhnya sebagai manusia."

Baru pada tahun 1911 Marie mendapat Nobel Kimia atas penemuan polonium dan radium, isolasi radium serta penentuan sifat-sifanya. Nobel keduanya ini membuatnya semakin terkenal dan percaya diri. Sebagai bentuk penghargaan pada dirinya, presiden AS Harding atas nama kaum wanita amerika menghadiahinya 1 gram radium murni senilai US$ 100.000.

Sesuai tekadnya untuk menyerahkan seluruh hidupnya bagi pelayanan kemanusiaan dengan menggunakan sains maka ia banyak terjun langsung dalam pemanfaatan sinar X untuk menangani korban perang. Di samping itu, Marie Curie mendirikan Institut Radium di Paris dan Warsawa, Polandia. Juni 1934, ia dirawat di sanatorium karena penyakit leukimia akibat paparan tinggi radium selama penelitiannya. Ia meninggal dunia pada 4 Juli 1934. Meskipun demikian, ia meninggal dengan penuh kebanggan sebab bukan hanya karena dirinya berhasil mengukir prestasi gemilang dalam ilmu pengetahuan namun lebih dari itu karena anaknya Irene Curie pun berhasil mengikuti jejaknya dengan menemukan radioaktivitas buatan beberapa bulan sebelum ia tiada. Ternyata Marie benar-benar seorang wanita yang menonjol dalam ilmu tanpa harus mengabaikan kewajibannya sebagai ibu. Tidak berlebihan bila ia dijuluki "Einsteinnya kaum perempuan". Banyak wanita muda yang tergugah setelah membaca kisahnya dan karyanya yang inspiratif. Sekarang ini ilmuwan wanita sudah menjadi lazim bukannya tanpa teladan dan kepeloporannya. Ada yang mau jadi Marie Curie abad ini?

sumber:chem-is-try.com

Friedel dan Crafts, Penelitian Tak Terduga

Reaksi Friedel-Crafts dinamakan atas nama dua orang kimiawan, Charles Friedel dan James M. Crafts, yang mengamati hasil penelitian tak terduga di Labotarium Friedel, Paris pada tahun 1877. Friedel dan Crafts menyadari pentingnya potensi penerapan dari penemuan tak terduga tersebut dan mematenkan prosedur pembuatan hidrokarbon dan keton di Perancis dan Inggris. Keputusan mereka ternyata benar. Dapat dikatakan tidak ada reaksi organik yang memiliki nilai penerapan lebih dari penemuan ini, hampir sebagian proses produksi dari bahan bakar beroktan tinggi, karet sintesis, plastik, dan deterjen sintetik merupakan hasil aplikasi dari "kimia Friedel-Crafts".

James Mason Crafts dilahirkan di Boston pada tahun 1839. Setelah lulus dari Universitas Harvard pada usia 19 tahun, Crafts menghabiskan satu tahun mempelajari teknik metalurgi. Ketika mempelajari metalurgi di Freiburg, Jerman, ia begitu tertarik dengan kimia. Ia bekerja di labotarium Robert Wilhem Bunsen, Heidelberg dan Charles Adolphe Wurtz, Paris. Saat di labotarium Wurtz, ia bertemu dengan Charles Friedel, dan mereka berdua berkolaborasi pada tahun 1861.

Pada tahun 1865 Crafts kembali ke Amerika. Setelah menghabiskan sedikit waktu sebagai inspektor tambang di Meksiko dan California, ia menjadi profesor kimia di Universitas Cornell, yang baru saja dibuka. Tiga tahun kemudian, ia pindah ke MIT, di sana ia mengajarkan berbagai peningkatan dalam proses mengajar dan di laboratorium. Pada tahun 1874 oleh karena kesehatannya yang memburuk ia kembali ke Prancis, di mana ia dan Friedel memulai kembali kolaborasi di labotarium Wurtz.
Ketika Crafts meningggalkan MIT, ia berharap akan kembali secepatnya. Karena perbedaan cuaca atau, mungkin, kesenangannya dengan penemuan yang ia bagikan bersama dengan Friedel, kesehatannya membaik secara drastis, dan memutuskan untuk tetap tinggal di Prancis selama hampir 17 tahun. Antara 1877 dan 1888, Friedel dan Crafts telah melahirkan lebih dari 50 publikasi dan paten yang berkaitan dengan reaksi alumunium klorida dengan senyawa organik.

Setelah Wurtz meninggal pada tahun 1884, Friedel mengikuti jejaknya sebagai profesor kimia organik dan direktur penelitian di Sorbonne. Friedel merupakan pendiri dari Chemical Society of France dan mengabdi selama empat periode sebagai presiden lembaga tersebut.

Pada tahun 1891 Crafts kembali ke MIT, di mana dia ditabiskan menjadi profesor dan pada tahun 1897 dipilih menjadi rektor. Ia berusaha untuk membuat MIT sejajar dengan institusi pendidikan di Eropa dengan meningkatkan standar pengajaran dan penelitian. Tiga tahun kemudian, ia memberhentikan diri dari jabatan administratif untuk menghabiskan waktu lebih banyak pada penelitian, yang ia lakukan sampai ia meninggal di usia 78 pada tahun 1971.

Mari kita kembali kepada peristiwa penelitian tak terduga yang menggoreskan nama Friedel dan Crafts di dalam sejarah industri dan sains ketimbang posisi administrasi akademis yang tinggi yang mereka berdua peroleh. Ketika mereka mencoba untuk membuat senyawa amil iodida dengan mereaksikan amil klorida dengan alumunium dan yodium, reaksi ini menghasilkan hidrogen klor dalam jumlah yang amat banyak dan secara tak terduga, hidrokarbon. Mereka menemukan bahwa pemakaian alumunium klorida menggantikan alumunium juga menghasilkan hasil yang sama. Sebenarnya, penelitian-penelitian terdahulu juga melaporkan hasil pengamatan yang sama dari reaksi organik klorida dengan senyawa logam tertentu (sebagai contoh timah), hanya saja para pendahulu mereka tidak dapat menjelaskan atau menafsirkan logam klorida sebagai reaktan atau katalis. Friedel dan Crafts merupakan orang pertama yang menunjukkan bahwa keberadaan logam klorida adalah penting.

Friedel dan Crafts melihat bahwa suatu hasil yang tak terduga menjanjikan suatu kemungkinan untuk mensintesa berbagai macam hidrokarbon dan keton dan mereka membuktikan hal ini melalui eksperimen. Dalam beberapa tahun berikutnya, hasil dari penelitian dan paten Friedel dan Crafts membangun berbagai macam bidang baru dalam penelitian dan penerapan di kimia organik dan melandasi beberapa industri kimia proses penting.

Kimia Friedel-Crafts mungkin terlihat agak terlalu teknis dan rumit, namun beberapa penerapannya telah mengubah sejarah baik secara langsung maupun tidak langsung. Winston Churchill, berkenaan dengan kemenangan perang oleh pilot pesawat tempur Inggris, berkata "Tidak pernah dalam medan konflik manusia, banyak orang berutang budi ke sedikit orang mengenai banyak hal". Kemenangan perang di udara bukan hanya mengandalkan kemampuan dan keberanian dari pilot-pilot Inggris, melainkan juga karena kehebatan dari bahan bakar penerbangan mereka. Pesawat-pesawat tempur Jerman mungkin lebih hebat daripada pesawat-pesawat Inggris dan Amerika, namun bahan bakar mereka tidak. Bahan bakar penerbangan yang digunakan oleh pesawat tempur Inggris dan Amerika memberikan performa penerbangan yang mantap. Bahan bakar tersebut mengandung toluen dan alkilasi aromatik hidrokarbon lainnya yang merupakan hasil pengembangan dari kimia Friedel-Crafts.

Contoh lainnya adalah deterjen sintetik, senyawa yang telah merubah gaya hidup manusia. Kita mencuci perabotan rumah tangga dan pakaian dengan deterjen; berbeda dengan sabun, deterjen dapat bekerja dengan baik di air keras. Deterjen juga merupakan bahan utama di dalam shampo. Salah satu contoh biodegradable deterjen sintetik adalah sodium dodesilbenzenesulfonat. Cincin karbon-12 dipasangkan pada molekul benzena dengan menggunakan reaksi alkilasi Friedel-Crafts.

Dalam bidang obat-obatan : Phenol, bahan untuk membuat aspirin, diproduksi dari isopropilbenzena (biasa disebut juga dengan cumene), merupakan salah satu contoh reaksi Friedel-Crats dari benzene dan propilen.

Selama lebih dari puluhan tahun, beberapa contoh penerapan dari reaksi Friedel-Crafts yang ditemukan secara tak sengaja telah menelurkan berbagai macam industri kimia. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak penemuan-penemuan sains penting terjadi secara tak sengaja, tetapi hal yang paling terpenting adalah orang yang terlibat dalam penelitian tersebut harus memiliki daya observasi dan kemampuan kreatif untuk mengembangkan penemuannya dan tidak membiarkannya menjadi penemuan yang terabaikan.

sumber:chem-is-try.com

Irene Joliot-Curie: Penemu radioaktivitas buatan

Suatu hari di tahun 1925, Irene Curie dengan mengenakan pakaian hitamnya yang longgar bergegas menuju Sorbonne untuk mempertahankan disertasi doktornya. Sekitar seribu orang memenuhi ruangan auditorium untuk melihat putri pertama Marie Curie disidang. Ibunya sendiri tidak hadir demi menghindari kemungkinan beralihnya perhatian para penonton dari anaknya ke dirinya. Tapi itu tidak menjadi masalah bagi Irene. Dia sangat percaya hasil penelitian yang dikerjakannya di Radium Institute (institusi penelitian nuklir yang didirikan oleh ibunya) akan memberikannya gelar doktor. Dia pun tak lupa mendedikasikan hasil karyanya ini untuk "Madame Curie dari anak dan muridnya".

Penelitian Irene berkisar di seputar partikel-partikel alpha yang dipancarkan oleh unsur polonium yang radioaktif. Polonium, elemen yang ditemukan oleh Marie Curie di tahun 1898, adalah unsur radioaktif yang sangat sering digunakan para peneliti saat itu untuk mempelajari inti atom. Kegunaannya sebagai bahan penelitian disebabkan oleh karena polonium hanya memancarkan satu jenis radiasi: partikel-partikel alpha (inti atom Helium). Biasanya mereka meletakkan polonium dekat bahan atau unsur lain yang tidak radioaktif dan mempelajari berbagai partikel yang terkeluarkan dari bahan tersebut.

Setelah acara mempertahankan disertasi selesai, Irene pulang ke Radium Institute disambut oleh para hadirin yang memberikan ucapan selamat di sebuah pesta taman. Gelar doktor yang diraihnya menjadi berita dunia. Bahkan surat kabar di luar Perancis, the New York Times juga ikut memberitakannya.

Irene meraih gelarnya bukan tanpa kerja keras. Selain minatnya pada sains sudah terlihat dari kecil dan keahliannya memikirkan solusi masalah dengan tenang dan mendalam seperti ayahnya, didikan ibunya berperan pula. Marie tidak senang dengan sistem pelajaran Perancis yang kaku kala itu. Dia tidak setuju anak murid harus berada di sekolah lama-lama dan kerjanya menghapal saja tanpa aktivitas fisik dan praktek laboratorium. Akhirnya, dengan beberapa koleganya sesama profesor Marie membuat sekolah koperasi sendiri. Masing-masing profesor mengajarkan satu atau dua mata pelajaran. Marie mengajarkan anak-anak profesor tersebut fisika eksperimen. Sekolah ini hanya bertahan dua setengah tahun, tapi Irene tetap diajarkan matematika oleh ibunya setelah itu.

Ketika Perang Dunia I meletus, Irene bekerja sebagai radiolog. Dia membantu memasang dan mengajarkan cara memakai mesin sinar X kepada para tenaga pembantu medis di rumah sakit-rumah sakit militer. Dia percaya dengan bantuan foto sinar X, ahli bedah dapat dengan cepat menolong serdadu yang terluka di medan perang. Kiprahnya selama perang menjadikan dia seorang yang berkepribadian kuat. Dalam hidupnya di kemudian hari, Irene tidak pantang menyerah melawan penyakit TBC yang dideritanya selama 20 tahun, ketika pada saat yang bersamaan menjadi seorang ibu, periset kimia dan tokoh publik yang berpengaruh. Yang disayangkan hanya satu. Dia mendapatkan dosis radiasi yang sangat besar karena sering menggunakan mesin sinar X, menyebabkan kematiannya yang dini karena penyakit leukemia.

Setelah perang, Irene kembali dekat dengan ibunya dan bekerja di Radium Institute sambil menamatkan kuliahnya. Tidak berapa lama setelah Irene meraih S3, seorang perwira bernama Frederick Joliot datang dan melamar kerja di tempat Irene meneliti. Keduanya bertemu dan berkenalan. Walau Irene dan Fred memiliki kepribadian yang berlawanan, keduanya sadar mereka memiliki beberapa kesamaan. Pada tahun 1926, mereka pun menikah.

Di labotarium mereka bekerja menggunakan polonium (memproduksi dan mempersiapkannya untuk menjadi alat penelitian). Pada saat itu, dunia sains belum mengerti benar struktur inti atom. Belum ada yang mengerti dan menemukan netron. Ketika Irene mengandung anak keduanya, dia mencoba memecahkan masalah yang ditemukan oleh fisikawan Jerman Walther Bothe. Bothe telah membombardir elemen berilium (unsur metalik yang ringan) dengan partikel-partikel alpha polonium. Yang keluar dari berilium adalah pancaran radiasi yang sangat kuat sehingga bisa menembus timah sampai setebal 2 cm. Mulanya dia berpikir dia menemukan tipe baru sinar gamma.

Pasangan Juliot-Curie mengulang percobaan yang dilakukan oleh Bothe. Mereka membombardir lilin parafin (yang kaya akan proton) dengan partikel-partikel alpha polonium. Lilin ini mengeluarkan proton-proton dengan kecepatan sepersepuluh kecepatan cahaya. Mereka pun mengambil kesimpulan yang salah bahwa ini sinar gamma.

Ernest Rutherford, ketika membaca artikel Joliot-Curie tidak percaya kalau itu sinar gamma. "Sinar gamma tidak memiliki massa dan tidak dapat membuat partikel yang berat bergerak secepat itu," komentarnya. James Chadwick yang bekerja di laboratorium Rutherford mengulang percobaan yang sama. Tapi kali ini Chadwick mengerti apa yang terjadi dan menemukan netron. Rutherford terkenal sangat gencar mempromosikan anak-anak didik dan asistennya untuk mendapatkan hadiah Nobel. Untuk penelitian yang dilakukan Chadwick, dia berseru, "Saya ingin Jim yang mendapatkan Nobel. Tidak berbagi dengan siapapun!" James Chadwick akhirnya dianugerahkan Nobel Fisika.

Pasangan Joliot-Curie sebenarnya telah membuktikan keberadaan netron, tapi tidak dapat menjelaskannya. Sayangnya kejadian ini bukan yang terakhir kalinya mereka melewatkan kesempatan untuk mendapatkan hadiah Nobel.

etelah netron ditemukan, fisikawan Enrico Fermi melihat kegunaannya sebagai alat peneliti inti atom. Netron adalah partikel yang tidak memiliki muatan. Jika netron dengan kecepatan tinggi dapat menembus inti atom, ia dapat mengeluarkan proton. Pasangan Joliot-Curie pun mengikuti jejak Fermi mempelajari inti atom dengan memborbardir inti atom unsur-unsur yang lain dan melihat jejak-jejak partikel yang dikeluarkan memakai Wilson cloud chamber. Hasil eksperimen-eksperimen yang mereka lakukan memberikan petunjuk bahwa ada satu lagi partikel subatomik yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Partikel ini bermuatan positif, tapi beratnya sama dengan elektron (positron). Lagi-lagi Fred dan Irene menebak dengan salah partikel ini. Ketika ilmuwan C.D. Anderson dari Amerika melakukan percobaan yang sama, dia menebak dengan benar dan mendapatkan hadiah Nobel. Pasangan Joliot-Curie sebenarnya telah membuktikannya adanya antimatter, tapi sayangnya mereka tidak dapat menjelaskannya.

Beberapa waktu setelah itu, mereka meletakkan polonium di dekat lempengan tipis aluminium dan mengharapkan nukleus hidrogen yang keluar. Tetapi malah netron dan positron yang keluar. Ketika mereka melaporkan hasil eksperimen ini di Konferensi di Belgia pada bulan Oktober 1933, pernyataan mereka ini ditolak oleh Lise Meitner. Meitner mengaku melakukan percobaan yang sama, tapi tidak menemukan netron. Banyak yang hadir lebih percaya Meitner ketimbang Joliot-Curie. Pasangan tersebut sempat kecewa memang. Tapi Niels Bohr dan Wolfgang Pauli yang juga hadir memberikan semangat kembali ke mereka berdua.

Mereka akhirnya kembali ke Paris di tahun 1934 untuk mengulang percobaan yang sama. Pada mulanya mereka mengasumsi inti aluminum mengeluarkan netron dan positron pada saat yang bersamaan. Untuk mengecek hipotesa ini, Fred menarik lempengan aluminum agak jauh dari polonium dan mengecek dengan Geiger Counter. Netron memang berhenti keluar, tapi dia heran ketika partikel-partikel positron masih terdeteksi oleh Geiger Counter yang dia pegang. Dia bergegas memanggil istrinya untuk menunjukkan apa yang terjadi.

Inti aluminium telah menyerap partikel-partikel alpha dari polonium, mengeluarkan netron-netron dan dalam proses tersebut, dalam waktu yang singkat, berganti jadi fosfor. Fosfor ini fosfor buatan, jadi tidak stabil. Oleh karena itu intinya mengeluarkan positron dan akhirnya berubah lagi menjadi elemen silikon yang stabil. Mereka berhasil menemukan radioaktif buatan.

Untuk hasil penelitiannya ini, pasangan Joliot-Curie dinominasikan untuk penghargaan Nobel Fisika di tahun 1934, tapi tidak dapat. Mereka akhirnya berhasil meraih Nobel Kimia tahun 1935. Nobel Kimia mereka merupakan Nobel ketiga untuk keluarga Curie. Ketika suami adik Irene, Eve, seorang diplomat bernama Henry R. Labouisse, menerima Nobel Perdamaian atas nama UNICEF (organisasi PBB untuk anak-anak) pada tahun 1965, total Nobel untuk keluarga Curie menjadi empat.

sumber:chem-is-try.com

Hideki Shirakawa

Dou shiyou…shashin toritai naaa… (Duh, gimana ya..pengen minta foto sama-sama deh..)” Beberapa orang berjalan mondar-mandir sambil membisikkan hal yang sama di seputar seorang kakek yang berdiri di tengah ruangan. Kalau dilihat sekilas, ia tidak ada bedanya dengan beberapa kakek dan bapak-bapak lainnya di ruangan resepsi IBM Science Award, penyelenggara, sponsor, juri dan penerima hadiah, sama seperti dirinya, memakai jas dan dasi dengan bersematkan pita merah besar yang bertuliskan nama mereka masing-masing. Hanya saja di sekitar kakek yang satu ini, orang-orang tidak putus-putusnya berkerumun. Jumat, 28 November 2003 yang lalu, professor saya bersama beberapa akademiawan lainnya diundang untuk hadir di IBM Science Award, yang disponsori oleh, tentu saja, IBM. Sebuah penghargaan tahunan yang diberikan kepada para ilmuwan muda berprestasi (kategorinya usia di bawah 45 tahun) di Jepang. Undangan untuk menghadiri penghargaan ini datang di setiap meja praktikum kami, dan saya pun, bersama kira-kira 10 teman labotarium lainnya turut menghadirinya.

Akhirnya setelah menunggu-nunggu sekian lama, rombongan kami berhasil berhadap-hadapan langsung dengan Hideki Shirakawa, penerima hadiah Nobel di bidang kimia pada tahun 2000.

“Klik” bunyi shutter kamera benar-benar memuaskan hati kami. Senior saya yang pada hari itu bertugas sebagai sie dokumentasi tidak menyia-nyiakan kesempatan. Untuk sesaat kami gugup dan tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. Hati saya berdebar-debar karena sejak seminggu yang lalu saya memutuskan datang bukan hanya untuk menghantarkan profesor saya memperoleh penghargaannya saja tapi juga untuk berbincang-bincang langsung dengan penerima hadiah Nobel, Hideki Shirakawa, yang kebetulan adalah salah satu anggota tim juri IBM Science Award ini.

“Berapa lama waktu yang dibutuhkan juri untuk menentukan siapa pemenangnya?” Sikutan teman saya memberikan dorongan spontan, dan saya memberanikan diri untuk memulai pembicaraan. Sesaat saya bisa merasakan tarikan nafas lega teman-teman karena ada pertanyaan yang diajukan sehingga kami tidak langsung pergi setelah berhasil berfoto bersama.

“Ooh..ya prosesnya bertahap, mula-mula ada beratus-ratus kandidat.” Jawabnya dengan suara yang relatif kecil dan pelan.

Hideki Shirakawa, usia 67, lahir dan dibesarkan di sebuah kota kecil di tengah-tengah pegunungan. Ia besar di tengah-tengah alam, berlari-lari di pinggir sawah-sawah, mengumpulkan serangga, berenang-renang di sungai dan menangkap belut. Ia hanyalah anak kecil biasa yang lebih banyak main daripada belajar. Tapi justru keakrabannya dengan alam inilah yang membuatnya tertarik untuk memperhatikan hal-hal kecil, mengutak-atik mesin dan selalu punya rasa ingin tahu terhadap benda-benda di sekelilingnya, bahkan dari sejak ia masih berusia belasan tahun. Tanpa sadar, alam telah menganugerahkannya sikap-sikap ideal yang diperlukan untuk menjadi seorang peneliti.

“Mengurangi kelemahan plastik yang ada sekarang dan membuat bermacam jenis plastik baru.” Demikianlah cita-citanya sebagaimana yang tertulis pada buku album kenangan SMP-nya. Ia sendiri mengaku tidak ingat apa yang membuatnya menulis demikian. Perjalanannya menuju hadiah Nobel dimulai oleh sebuah kegagalan praktikum.

Pada musim gugur 1967, Shirakawa yang waktu itu menempati posisi research associate di sebuah laboratorium di Tokyo Institute of Technology, kebingungan karena usaha seorang anak didiknya untuk membuat polimer poliasetilen tidak berhasil. Tujuan praktikum pada waktu itu ialah untuk menyelidiki mekanisme polimerisasi poliasetilen dengan menggunakan katalis Ziegler-Natta. Dengan cara biasa, polimer poliasetilen didapatkan dengan bentuk bubuk hitam, tapi kali ini, yang didapat hanyalah beberapa pecahan dari lapisan tipis berwarna perak mengkilat. Percobaan dianggap gagal dan diulangi kembali. Namun tidak peduli berapa kali pun dicoba, bubuk hitam yang diharapkan tidak berhasil mereka dapatkan. Belakangan Shirakawa baru menyadari bahwa jumlah katalis yang dipakai dalam eksperimen itu salah. Katalis yang seharusnya cukup dipakai sebanyak x mmol, dipakai sebanyak x mol. Sampai sekarang pun ia tidak tahu apa yang menyebabkan kesalahan yang boleh dibilang cukup konyol ini sampai terjadi. Apakah ia yang salah tulis, atau anak didiknya yang salah baca.

Dengan digunakannya 1000 kali lipat katalis dari jumlah yang seharusnya, reaksi pun berlangsung lebih cepat 1000 kali lipat. Akibatnya seluruh gas asetilen tidak terpolimerisasi dengan sempurna, dan hanya bagian permukaan yang bersentuhan dengan katalis saja yang sempat menjadi polimer.

Prof. Alan G. MacDiarmid dari University of Pennsylvania yang tertarik dengan hasil penelitian ini mengundang Shirakawa untuk meneruskan penelitiannya di laboratoriumnya di Amerika dan Shirakawa menghabiskan setahun di sana. Pada saat itu ia juga berkenalan dengan Prof. Alan J. Heeger yang kelak turut memperoleh hadiah Nobel bersama Shirakawa dan MacDiarmid.

Sebuah tonggak sejarah dalam penemuannya juga mengambil tempat di sana. Pada saat itu, Shirakawa penasaran melihat cahaya poliasetilen film ini. Ia berpikir, kalau polimer ini berkilau-kilau seperti logam, jangan-jangan polimer ini punya sifat penghantar listrik seperti logam? Tebakannya itu ternyata terbukti ketika jarum elektrometer yang dipakainya untuk mengukur konduktivitas (daya hantar listrik) ini meloncat dengan mendadak pada saat ia dan seorang ilmuwan lainnya menambahkan bromin pada poliasetilen film. Inilah titik awal lahirnya plastik penghantar listrik.

Elektron dari rantai karbon poliasetilen yang bersemayam dengan nyamannya, tiba-tiba direnggut oleh bromin, sehingga terjadi kekosongan muatan negatif yang menyebabkan terbentuknya karbokation (soliton bermuatan positif). Kurangnya muatan negatif pada satu karbon membuatnya menarik elektron dari karbon tetangga yang kemudian juga terpaksa menarik elektron tetangganya untuk memenuhi kekurangan ini sehingga terjadilah arus elektron pada poliasetilen ini.

Penemuan Shirakawa, yaitu polimer konduktif, dapat kita temukan di sekeliling kita. Misalnya baterai telepon genggam dan touch-screen (layar monitor yang bereaksi kalau disentuh).

“Bagaimana Bapak biasanya menentukan tema riset? Apakah Bapak lebih cenderung melakukan penelitian di ilmu-ilmu dasar atau ilmu-ilmu aplikatif yang bisa langsung berguna untuk masyarakat?” tanya seorang teman yang kebetulan berdiri di samping saya. “Ah, saya tidak pernah berpikir seperti itu. Yang penting saya melakukan apa yang saya suka.” jawabnya dengan tersenyum ramah. “Walaupun kelak tidak berguna?” tegas teman saya sekali lagi. Dia memang sudah bertekad untuk melanjutkan ke program doktor. Untuk dia, menentukan tema penelitian sama dengan menentukan masa depannya. “Yang penting kita lakukan apa yang kita suka, tapi juga kita jelaskan dengan mudah ke orang-orang lain supaya mereka bisa menghargai hasil jerih payah kita.”

Jawaban yang begitu sederhana. Sesederhana si penjawab sendiri. Rambutnya yang putih kekuningan membingkai wajah dan lehernya yang berwarna merah cerah. Sebagai orang penting, meneguk minuman keras yang dituangkan orang lain baginya adalah bagian dari tata krama. Tubuhnya begitu kecil dan rapuh, matanya yang kecil dan berkeriput dilindungi sebuah kaca mata. Penampilannya sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia adalah seorang ilmuwan raksasa.

Dan saya pun bertanya-tanya dalam hati, apa sih yang membuat kakek-kakek biasa ini meraih sukses yang begitu luar biasa itu? Sesampainya di rumah, ketika menghadapi layar komputer, saya baru mengerti. Shirakawa menolak untuk menerima kegagalan. Di saat beribu-ribu ilmuwan maupun mahasiswa di laboratorium membuang cairan-cairan kimia yang salah dibuatnya, di saat mereka menyerah setelah kegagalan beruntun dan memutuskan untuk mengubah tema penelitian mereka, di saat mereka menerima kegagalan sebagai kesalahan yang harus dilupakan dan diperbaiki, Hideki Shirakawa percaya akan kebenaran dalam kegagalannya.

sumber:chem-is-try.com

Edwin Vandenberg

Pada tahun 2003 Edwin Vandenberg yang usianya senja (84 tahun) mendapat penghargaan Medali Priestly, penghargaan tertinggi dari American Chemical Society. Penghargaan ini sangat terkenal di kalangan ilmuwan kimia organik, tidak kalah bergengsi dengan hadiah Nobel.

Vandenberg kimiawan dari Arizona State University itu dikenal atas hasil kerjanya di perusahaan Hercules di tahun 1950-1970-an, termasuk di antaranya penemuan isotaktik polipropilen dan pengembangan katalis tipe Ziegler untuk memproduksinya. Ia pun menemukan metode transfer berantai hidrogen untuk mengontrol berat molekul poliolefin, yang kemudian berguna untuk memproduksi molekul ini.

Walaupun latar belakang pendidikan S1-nya adalah di bidang teknik mekanika. Ia berhasil membuat katalis alkylaluminoxane yang berguna untuk membuka cincin polimer epoxides dan oxetanes untuk membentuk elastomer polyether. Dengan kata lain, berkat kontribusinya di bidang ilmu kimia polimer inilah dia dianugerahi penghargaan Medali Priestly.

Vandenberg lahir pada tanggal 13 September 1918 dan besar di daerah Hawthorne, New Jersey, tidak begitu jauh dari kota metropolitan New York. Ia tertarik pada dunia kimia sejak masih kecil. Kisahnya, sewaktu Vandenberg remaja Edwin melihat temannya Gordon Hoffman mempunyai lab kimia kecil-kecilan di rumahnya. Maka Iapun akhirnya membuat lab sendiri. Dia jadi tertarik dengan berbagai eksperimen kimia dan banyak membaca buku mengenai kimia. Satu eksperimen yang dia pernah lakukan hampir saja membuat dia cedera. Satu hari, Hoffman dan Vandenburg memutuskan untuk membuat logam mangan dari suatu reaksi kimia. Cara yang mereka tempuh adalah dengan membakar campuran bubuk oksida mangan dan bubuk logam aluminium di sebuah tempat untuk melebur metal. Mereka memperhatikan dengan seksama, ketika tiba-tiba terjadi reaksi kimia yang disusul oleh cahaya terang tepat di depan muka mereka dan di hadapan mata mereka yang tidak terlindungi. Vandenberg mengakui, “Tindakan kami saat itu memang ceroboh. Untung saja kami tidak cedera.” Walaupun begitu, reaksi kimia yang mereka kerjakan membuahkan hasil. Mereka menemukan kepingan-kepingan logam mangan.

Ketika akhirnya Vandenberg kuliah, atas saran orang tuanya, dia belajar di Stevens Institute of Technology, sebuah perguran tinggi teknik yang letaknya di Hoboken, New Jersey. Walau jurusan teknik mekanika bukan tujuan awal jurusan yang ingin dipilih, dia akhirnya belajar dan lulus S1 sebagai sarjana teknik, bukan di bidang kimia. Tapi masa kuliahnya di Stevens bukan tanpa kimia. Setahun sebelum lulus, dia mengerjakan riset kimia organik dengan salah satu dosennya. Karena dia tidak mempunyai latar belakang kimia organik, dosen pembimbingnya memberikan banyak les di mata kuliah tersebut. Vandenberg kemudian memutuskan untuk mengambil mata kuliah kimia organik sambil terus bekerja di lab prof. Francis J. Pond. Dari pengalamannya menjadi research assistant ini dan rekomendasi dari prof. Pond dia mendapat posisi sebagai periset kimia di perusahaan Hercules Powder Co. Di perusahaan inilah Vandenberg diberikan keleluasaan untuk melakukan riset di bidang-bidang yang dia anggap penting dan menarik. Dia berkisah, “Banyak proyek yang tidak pernah dikembangkan secara komersial, walau ada beberapa yang hampir jadi. Tapi saya mendapatkan banyak paten. Sebagai kimiawan industrialis, sangat susah untuk menerbitkan [hasil riset] secara tepat waktu. Tapi akhirnya saya berhasil menerbitkan beberapa hasil kerja saya.”

referensi:chem-is-try.com

Andrew Grove: Mantan CEO Intel Corp

Dalam kurun waktu seperempat abad belakangan ini, dari puluhan pemimpin berbagai perusahaan teknologi di AS ada dua Chief Executive Officer (CEO) yang namanya cukup terkenal, pribadinya karismatik dan unik, gaya kepemim-pinannya dipelajari dan ditiru banyak orang, dan memiliki latar belakang pendidikan teknik kimia, bukan Master of Business Administration (MBA). Salah satu dari dua orang CEO itu adalah Andrew S. Grove, mantan CEO perusahaan pembuat dan pemasok chip mikroprosesor terbesar di dunia, Intel Corp.

Andrew Grove lahir dengan nama Andras Grof pada tanggal 2 September 1936 di Budapest, Hongaria. Sejak kecil Andrew menjalani hidup yang sulit. Dia hampir saja meninggal dunia pada umur 4 tahun. Pada saat itu, di Budapest berjangkit wabah penyakit scarlet fever. Untungnya Andrew selamat, walau gendang telinganya sobek karena infeksi di dalam telinga sehingga dia kehilangan pendengarannya. Lolos dari ancaman maut karena penyakit, muncul bahaya baru. Tentara Nazi Jerman yang meluncurkan Perang Dunia II akhirnya berhasil menduduki Budapest di bulan Maret 1944. Karena selalu berada dalam persembunyian dengan ibunya dan juga karena mengganti namanya menjadi Andras Malesevics, Andrew berhasil lolos dari pengejaran dan penangkapan tentara Jerman. Tetapi lepas dari bahaya yang satu ini, muncul lagi yang lain. Kali ini tentara Uni Soviet yang memasuki Hongaria. Menghadapi bahaya yang tak kunjung usai, akhirnya Andrew muda memutuskan untuk melarikan diri dari tanah kelahirannya. Dengan teman baiknya satu sekolah mereka berdua naik kereta api menuju arah barat untuk mencapai perbatasan Austria. Setelah melewati perjalanan panjang, melelahkan dan penuh ancaman bahaya mereka akhirnya sampai di Austria.

Dari sini Andrew mencari jalan untuk ke AS dan akhirnya tiba di kota New York menumpangi kapal pengungsi. Dia tinggal di apartemen satu kamar di Brooklyn dengan paman dan bibinya yang telah lebih dulu meninggalkan Hongaria. Di kota New York inilah, Andrew melanjutkan pendidikannya yang sempat terputus dan kuliah di City College of New York (CCNY), yang pada saat itu merupakan perguruan tinggi gratis (free academy) namun memiliki reputasi tinggi sebagai Oxfordnya orang-orang imigran. Di CCNY, Andrew mengambil jurusan Teknik Kimia dan pada tahun 1960 lulus dengan predikat Magna Cum Laude dan juga berhasil menduduki ranking pertama di antara teman-temannya yang lulus saat itu.

Andrew yang telah menikah dengan istrinya Eva dua tahun sebelum dia lulus S1, kemudian berangkat melanjutkan pendidikannya di University of California at Berkeley. Dia mendalami bidang studi dinamika fluida. Lagi-lagi dia menjadi bintang di sini. Setelah berhasil mendapatkan PhD, Dr. Grove mendapat tawaran kerja dari berbagai tempat, termasuk dari Bell Laboratories. Tapi pada akhirnya dia memutuskan untuk bekerja di Fairchild Semiconductors, sebuah firma teknik baru yang memiliki insinyur-insinyur yang brilian. Sudah sejak dari bangku kuliah, Dr. Grove memang hendak terjun ke dunia industri, tidak seperti kebanyakan rekan-rekan sekuliahnya. “Saya hendak melakukan sesuatu dengan ilmu saya”, katanya lagi.

Pada awal dekade 1960-an, industri komputer sedang mengalami sebuah revolusi. Komputer pada saat itu memang sudah cukup cepat melakukan perhitungan, namun para desainer komputer tetap berkeinginan untuk membuat komputer bekerja lebih cepat lagi. Hanya saja, mereka terbentur dengan problem yang sulit. Untuk mengerjakan perhitungan lebih cepat, lebih banyak elektron yang harus dialirkan dan lebih banyak energi panas yang dihasilkan oleh tabung vakum (desain transistor jaman dulu memakai tabung-tabung vakum sebagai on-off switches). Solusi yang logikal adalah untuk menggantikan tabung-tabung vakum tersebut dengan sebuah piranti elektronik yang mempunyai peran yang sama, yaitu untuk menyimpan muatan listrik dan dapat mengontrol arus elektron-elektron.

Gordon Moore, salah satu insinyur yang bekerja di Fairchild yakin bahwa salah satu cara untuk menyimpan muatan listrik ini adalah dengan cara membuat rangkaian terpadu (IC) yang dibuat dengan menggunakan logam, oksida dan silikon. Piranti ini dinamakan MOS transistor. Silikon, sebagai semikonduktor, mempunyai properti listrik yang mendukung untuk aplikasi yang diinginkan ini. Tetapi MOS tidak stabil. Hari pertamanya kerja, Dr. Grove diminta untuk mempelajari properti listrik MOS. Dr. Grove memberikan laporan yang lengkap mengenai hal ini sampai-sampai mengesankan atasan dia. Bukan itu saja. Dengan dua koleganya yang lain, Dr. Grove berhasil menemukan penyebab ketidakstabilan MOS: impuritas yang terdiri dari unsur natrium. Penemuan ini merupakan salah satu penemuan fundamental di bidang ilmu bahan dan Dr. Grove beserta rekan-rekannya mendapat penghargaan dari perusahaannya.
 
Di tahun 1968 Robert Noyce, sejawat kerja Dr. Grove yang lain memutuskan untuk meninggalkan Fairchild. Dia sudah bosan dengan Fairchild karena berbagai macam hal. Dia mengajak Moore untuk mendirikan perusahaan baru. Moore yang dari semula sudah seperti mentor terhadap Grove akhirnya memberitahukan hal itu kepadanya di sebuah konferensi dan Grove langsung memutuskan untuk ikut serta. Maka perusahaan Intel pun berdiri pada bulan Juli 1968.

Mula-mula Intel (kependekan dari Integrated Electronics) memproduksi memori chip untuk komputer. Tetapi bisnis ini lama kelamaan menurun dan pada akhirnya para pendiri Intel terpaksa memutuskan strategi baru. Moore menyarankan Intel untuk mulai memproduksi chip mikroprosesor berdasarkan analisanya mengenai chip silikon. Analisanya itu jadi terkenal dengan nama Moore’s Law: jumlah transistor pada chip mikroprosesor menjadi dua kali lipat dan harganya turun menjadi setengah setiap 18 bulan.

Karir Dr. Grove terus menanjak di Intel. Pada tahun 1979 dia menjadi presiden perusahaan dan di tahun 1987 akhirnya berhasil menjabat posisi puncak sebagai CEO. Sepuluh tahun kemudian di tahun 1997, dia diangkat menjadi presiden direktur. Selama satu tahun dia merangkap dua jabatan ini; di tahun 1998 dia meletakkan jabatan CEO-nya walau terus menjabat sebagai presiden direktur perusahaan.

Selama kepemimpinannya itulah Intel Corp jadi maju pesat. Keberhasilannya ini diakui oleh banyak organisasi profesional. Penghargaan-penghargaan seperti IEEE Engineering Leadership Recognition Award (1987), Technology Leader of the Year Award dari Industry Week (1997) dan CEO of the Year Award dari majalah CEO merupakan beberapa dari sederetan penghargaan yang diraihnya. Ketika Dr. Grove terpilih sebagai Time’s Man of The Year di tahun 1997, seketika itu juga dia menjadi public figure yang dikenal banyak orang.

sumber:http://chem-is-try.com

Mengenang Kimiawan Glenn Seaborg

Peraih Nobel, kimiawan Glenn T. Seaborg meninggal dunia pada tahun 1999, pada usia 86 tahun.Beberapa kontribusinya di bidang kimia adalah penemuan unsur plutonium dan sembilan unsur lainnya, serta revisi yang cukup penting pada tabel periodik.

Seaborg meraih Ph.D. kimia dari University of California-Berkley pada tahun 1937. Pada awal masa kuliahnya, Ia tertarik dengan unsur-unsur transisi, unsur-unsur yang berkisar diantara uranium. Ia dan rekan kerjanya John J. Livingood menemukan isotop radioaktif yodium-131 dan kobalt-60, yang saat ini digunakan secara luas di kedokteran nuklir untuk diagnosis dan pengobatan. Seaborg kemudian menemukan isotop teknetium-99, yang digunakan untuk pengobatan pada ‘scan’ jantung. Ia dan rekan kerjanya akhirnya menemukan kurang lebih 100 isotop dari unsur-unsur.

Sepanjang perang dunia II, Seaborg merupakan salah satu pemimpin dari Manhattan Project, merupakan proyek pengembangan bom atom di University of Chicago. Presiden John. F. Kennedy menunjuknya menjadi ketua dari Komisi Energi Atom (AEC) pada tahun 1961 ,dan tahun 1963 Ia membantu negoisasi dengan Rusia dalam perjanjian pelarangan tes bom nuklir. Sebagai ketua AEC, posisi yang dipegangnya hingga 1971, Ia berjuang dalam membela untuk perdamaian dan aplikasi yang menguntungkan dalam kimia nuklir. Pada tahun 1976, Ia mengabdi sebagai presiden dari American Chemisty Society. Ia juga terjun dalam proses reformasi pendidikan di Amerika.

Salah satu penemuannya yang paling terkenal adalah unsur plutonium, dan kemudian isotop plutonium-239. Isotop ini, yang berfisi menjadi unsur seperti uranium-235, sekarang digunakan secara luas sebagai bahan bakar pada reaktor nuklir. Setelah perang dunia II,Ia juga terlibat dalam penemuan 9 unsur-unsur transisi lainnya, nomor 94 hingga 102.

Beberapa unsur-unsur transisi disintesis dengan reaksi nuklir yang juga disebut dengan reaksi transmutasi. Di dalam reaksi transmutasi, partikel akselerasi (particle accelerators) digunakan untuk mempercepat partikel ke sebuah energi yang tinggi. Partikel akselerasi menumbuk nukleus, mengubah structure atom tersebut. Sebagai contoh, neptunium (Np) pertama kali disintesis dengan menumbukkan nukleus dari uranium-238 dengan deutron (H).




Pada tahun 1945, Seaborg mengusulkan penggolongann ulang periodik tabel pertama yang berarti sejak penggolongan unsur-unsur oleh Mendeleev di tahun 1869. Ia berpendapat bahwa unsur-unsur aktinida (90 hingga 103) seharusnya diletakkan di bawah unsur-unsur laktinida (58 hingga 71) bukan dibawah dari unsur-unsur transisi metal. Penggolongan ini didasarkan atas gagasan untuk menempatkan unsur bendasarkan sifat kimianya paad kolom atau golongan kimia yang sama.

Glenn T. Seaborg merupakan satu-satunya orang yang memiliki unsur bernamakan dirinya ketika masih hidup; seaborgium. Seaborg, bersama dengan Edwin McMillan, dianugrahkan Nobel Prize pada tahun 1951 atas penelitiannya pada unsur-unsur transisi. Pada tahun 1991, Ia menerima National Medal of Science, penghargaan nasional tertinggi bagi hasil usahanya di bidang ilmiah.

sumber:chem-is-try.com


Koichi Tanaka

The Royal Swedish Academy of Sciences menganugrahkan penghargaan Nobel Kimia kepada Koichi Tanaka, John B. Fenn dan Kurt Wuthrich pada tahun 2002. Koichi Tanaka adalah seorang peneliti muda di perusahaan Smimadzu Kyoto Jepang. Ia berjasa dalam mengembangkan metode ‘soft laser desorption ionisation’ (SLD) ionisasi deabsorpsi dengan laser lunak untuk analasis spektrometer massa dari makromolekul biologi.

Koichi Tanaka lahir di Kota Toyama, Jepang pada tahun 1959. dan tahun 1983 Ia meraih gelar sarjana teknik elektro dari Universitas Tohoku kemudian masuk ke perusahaan Shimadzu sebagai peneliti. Tanaka mempublikasikan metode eliminasi dengan laser lunak pada tahun 1987 yang kemudian mendapatkan penghargaan nobel kimia.

Dalam mempelajari makromolekul biologi, sebagai contoh protein sangat diperlukan metode analisis yang sangat akurat dan baik. Sebelum ditemukannya teknologi ini, spektrometri massa yang ada hanya dapat mendeteksi senyawa-senyawa yang massa molekul-nya relatif kecil. Seperti yang kita ketahui makromolekul seperti protein memiliki massa molekul yang amat besar. Untuk mengetahui informasi dari massa molekul tersebut berbagai macam cara digunakan seperti gel kromatografi atau SDS-PAGE yang tingkat kesalahannya mencapai 10% dan hanya mampu menganalisa massa molekul tidak lebih dari 50,000. Dengan metode ionisasi yang dikembangkan oleh Tanaka dan Prof. Fenn (peraih nobel Kimia 2002 lainnya) mampu menganalisa protein yang memiliki massa molekul sangat besar dengan tingkat kesalahan kurang dari 0.1%.

Pengembangan metode ini memungkinkan peneliti untuk menentukan struktur 3 dimensi yang menggambarkan struktur molekul protein di dalam larutan dan bagaimana fungsi protein di dalam sel. Metode ini mendorong revolusi dari ilmu farmasi modern yang menjanjikan aplikasi di berbagai bidang seperti pengontrolan bahan pangan dan diagnosis awal pada kanker payudara dan kanker prostat.

Metode deabsorsi laser lunak yang dikembangkan oleh Tanaka menggunakan pulsa laser dari Nitrogen 337nm untuk mengionisasi matrik dari sample protein sehingga molekul protein terlepas dalam bentuk molekul ion bermuatan rendah. Molekul ion ini kemudian diakelerasi oleh medan magnet dan dideteksi dengan mengukur waktu terbangnya. Prinsip dari metode telah mendasari berbagai macam metode deabsorsi laser lainnya, seperti MALDI, SELDI, dan DIOS.


Diag. 1 Prinsip dari spektometer massa SLD

Koinichi Tanaka merupakan salah sedikit orang yang di dalam usianya yang relatif muda meraih nobel kimia walau hanya tamat sarjana teknik S-1. Satu hal yang menarik lainnya, saat diwawancara wartawan, Tanaka mengatakan bahwa sebenarnya penemuan metodenya itu hanyalah suatu ‘kebetulan’. Dalam penelitian metode tersebut, Tanaka teledor dengan memasukkan serbuk kobalt yang seharusnya larutan gliserin ke sample yang akan dianalasi. Tanaka kemudian terkejut ketika sample dari protein dianalasisa massa molekul dapat dideteksi.

referensi:chem-is-try.com